Selasa, 25 Januari 2011

KLHS - Undang-Undang PPLH No. 32 Th. 2009

Sebuah kebijakan baru dari pemerintah pusat telah lahir. Kebijakan ini mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dalam setiap kebijakan, rencana dan program yang dicetuskan. Kebijakan ini menjadi salah satu upaya pemerintah pusat dalam menyikapi kondisi penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan yang semakin memprihatinkan.
Kebijakan ini merupakan sebuah upaya pemerintah pusat untuk mengatasi permasalahan lingkugan mulai dari “hulu”. Kebijakan ini di amanatkan dalam UU no 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa KLHS merupakan salah satu instrument untuk pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Dengan adanya KLHS ini permasalahan lingkungan yang akan lahir dari sebuah kebijakan, rencana dan program dapat diprediksi dan dapat diminimalisir dampaknya.
Dalam pelaksanaannya KLHS akan lebih berperan sebagai sebuah pendekatan atau metode daripada sebuah intrumen seperti AMDAL. Selama ini kita mengenal AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sebagai salah satu instrumen dalam pengendalian pencemaran lingkungan. Di dalam penyusunan Amdal lebih mengedepankan pada aspek scientific judgement yang biasa dilakukan oleh para pakar yang bersertifikasi. Sedangkan dalam penyusunan KLHS scientific judgement tidak terlalu dikedepankan akan tetapi diskusi publik dari berbagai stakeholder yang berkepentingan dan terkena dampak dari sebuah kebijakan, rencana dan program. KLHS bermanfaat untuk bisa mengefektifkan instrument pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan yang lain seperti AMDAL.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis wajib dimasukkan ke dalam kebijakan, rencana dan/atau program untuk menjamin pembangunan yang berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya KLHS akan memasuki Dalam proses integrasi KLHS ke dalam kebijakan, rencana dan/atau program mempunyai beberapa alternatif metode. Ketika KLHS disusun seiring dengan penyusunan kebijakan, rencana dan/atau program maka KLHS tidak harus menjadi sebuah dokumen tersendiri melainkan menjadi sebuah kesatuan yang terintegrasi dalam kebijakan, rencana dan/atau program tersebut. Lain halnya bila kebijakan, rencana dan program tersebut telah tersusun misalnya RTRW sebuah Propinsi yang sudah menjadi Perda, maka KLHS bisa diintegrasikan ketika adanya evaluasi RTRW berkala atau melalui penjabaran atau kegiatan detil dari rencana tersebut. Dengan begitu KLHS akan tetap bisa fleksibel terintegrasi ke dalam kebijakan walaupun kebijakan tersebut sudah dicetuskan.
Dalam pelaksanaannya perlu dipahami bahwa KLHS bukan bertujuan untuk menghalangi pembangunan namun dengan pertimbangan isu lingkungan maka pembangunan yang dilakukan tersebut tidak akan mengurangi daya dukung dan daya tampung dari lingkungan. KLHS bermanfaat untuk menunjang sebuah kebijakan agar kebijakan tersebut dapat diterapkan dalam jangka panjang serta bukan kebijakan yang hanya bisa diterapkan dalam jangka pendek karena berdampak besar terhadap lingkungan.
Salah satu konsekuensi dari era otonomi daerah adalah wewenang pengelolaan lingkungan di daerah menjadi tanggung jawab dari pemerintah daerah. Kepala daerah mempunyai peran yang sangat penting untuk menentukan suatu kebijakan apakah dengan mempertimbangkan kepentingan lingkungan atau tidak. Demikian juga dengan tingkat keberhasilan dari kebijakan KLHS ini adalah tingkat kepatuhan dari tiap-tiap kepala daerah untuk melaksanakannya KLHS pada setiap kebijakan, rencana dan/atau program.
Kelahiran KLHS perlu diapresiasi walaupun pastinya masih banyak memiliki kekurangan. Dengan upaya pertimbangan lingkugan mulai dari suatu kebijakan, rencana dan program itu lahir maka diharapkan anak cucu kita akan masih bisa menikmati alam dan lingkungan yang tetap terjaga. Walaupun kebijakan ini memang masih perlu banyak masukan untuk menuju kesempurnaan mengingat Peraturan Pemerintahnya belum ada. Namun semoga KLHS ke depan akan bisa menjadi pendekatan yang efektif untuk menyelamatkan lingkungan kita.

HAZARD IDENTIFICATION

PLANNING

Dalam perencanaan keselamatan dan kesehatan kerja di pergudangan dilakukan dengan cara mengidentifikasi bahaya yang ada dan melakukan penilaian terhadap kemungkinan dan keparahan yang diakibatkannya terhadap semua aktifitas,  peralatan dan proses kerja yang ada di pergudangan  ( contoh: Mengangkat barang,  kondisi forklift,  memidahkan produk dari tempat penyimpanan ke atas truk,  dll) sesuai prosedur Hazard Identification and Risk Assessment (HIRA) berikut ini:
PROSEDUR HAZARD IDENTIFICATION dan RISK ASSESSMENT
I.        TUJUAN
Dalam  melaksanakan Identifikasi Bahaya dan Penilaian Resiko sebagai dasar penyusunan activity plan,
bertujuan untuk :
1.        Mengidentifikasi semua potensi bahaya yang ada di area Gudang.
2.        Mengendalikan semua potensi bahaya yang telah teridentifikasi.
II.      RUANG LINGKUP
Prosedur ini berlaku di seluruh area Gudang/Departemen.
III.    TANGGUNG JAWAB
HSE Representative/Anggota HSE Committee tiap-tiap departemen,  kepala-kepala departemen & Bagian/HOD(s)  dan DR(s),  dan HSE Officer.
IV.     PROSEDUR
4.1     Mengidentifikasi Bahaya
  1. Setiap anggota HSE committee melakukan identifikasi bahaya di areanya masing-masing dengan menggunakan form Risk assessment.
  2. Identifikasi bahaya dilakukan pada setiap aktifitas, layanan dan produk yang ada di masing-masing area (diisikan pada kolom “potential hazard”).
  3. Bahaya yang dimaksud bisa berupa bahaya yang akan menimbulkan kecelakaan atau penyakit akibat kerja (terjatuh, tersengat listrik, kebakaran, penurunan pendengaran, dll).
  4. Selanjutnya dilakukan identifikasi penyebab potensial yang memungkinkan bahaya tersebut bisa terjadi (diisikan pada kolom “potential causes”).
  5. Penyebab potensial ini bisa berupa fisik (ketinggian, tegangan listrik terbuka, lantai licin, dll), kimia (terpapar bahan kimia, dll) atau biologi (bakteri patogen, dll).
4.2.          Evaluasi Resiko
  1. 1.        Setiap bahaya yang teridentifikasi harus dievaluasi tingkat resikonya dengan menggunakan form Risk Assessment.
  2. 2.        Potensi bahaya yang teridentifikasi dievaluasi tingkat keparahannya dengan mengisi kolom-kolom “severity”. Evaluasi ini mempertimbangkan : Legal requirements (LR), People injury (PI), Health Impact (HI) and Economical loss (EL).
  3. 3.        Tingkat keparahan bervariasi mengikuti petunjuk yang tercantum dalam  Risk  Assessment form.
  4. 4.        Kolom Avg dalam kolom “severity” diisi dengan angka terbesar dari evaluasi potensi bahaya.
  5. 5.        Potential causes yang teridentifikasi dievaluasi tingkat kemungkinannya dengan mengisi kolom-kolom “probability”. Evaluasi ini mempertimbangkan : Frequency (F), Protection system (PS), Checking & Maintenance (CM) and People competence (PC).
  6. 6.        Tingkat kemungkinan bervariasi mengikuti petunjuk yang tercantum dalam Risk Assessment  Criteria.
  7. 7.        Kolom Avg dalam kolom “probability” diisi dengan rata-rata dari evaluasi potensi penyebab.
  8. 8.        Hasil evaluasi “severity” dan “probability” ini setelah diplot pada diagram Risk evaluation akan digunakan sebagai dasar penyusunan program.
4.3.          Penyusunan program
  1. Hasil risk assessment menjadi dasar dalam penyusunan program dengan mempertimbangkan hasil ploting “severity” dan “probability”.
  2. Hasil ploting pada kuadran I berarti memerlukan program perbaikan yang bersifat urgent dan important.
  3. Hasil ploting pada kuadran II berarti memerlukan program perbaikan dengan prioritas tingkat kedua.
  4. Hasil ploting pada kuadran III berarti memerlukan program monitoring serta checking & maintenance yang konsisten.
  5. Hasil ploting pada kuadran IV berarti belum memerlukan suatu program tertentu.
  6. Hasil risk assessment harus disetujui oleh HSE Officer, ditandai dengan paraf  pada risk assessment form.
  7. Rencana kerja disusun dengan menggunakan form Activity Plan.
  8. Rencana kerja dilengkapi dengan rincian kegiatan, target yang terukur, time frame, dan personil yang bertanggung jawab.
4.4.          Penerapan dan pemantauan Program/Activity Plan
  1. Program yang telah disusun, dilaksanakan sesuai dengan waktu dan tanggung jawab masing-masing.
  2. Hasil penerapan dan pemantuan disosialisikan dalam pertemuan HSE committee atau pertemuan harian (Toolbox  meeting). Dalam rapat ini harus dibicarakan perkembangan pelaksanaan program dari masing-masing departemen.
  3. Jika ada hal-hal yang tidak dapat diselesaikan di tingkat rapat HSE committee ataupun pertemuan harian (Toolbox meeting), maka permasalahan dapat dibawa pada rapat tingkat manajemen.
Contoh :
Roaster Risk Assesment
No Activity/Product/ Service Potential Hazards Severity Potential Causes Probability Risk Value
LR PI HI EL Ave F PS CM PC Ave
1 Cleaning dust colector
  1. Iritasi
  2. Gangguan pernafasan
1 1 2 N/a 2 Dust & chaff green coffee 3 2 5 2 3 II
  1. Gangguan fisik (Physical impact)
1 2 1 N/a 2 3 2 1 2 2 IV
2 Release Hot cyclone block Luka bakar, injury, (Physical impact) 1 3 N/a N/a 3 Terjepit star valve  (hit by starvalve) 3 2 1 1 1.75 IV
3 Tipping green coffee
  1. Iritasi
  2. Gangguan pernafasan
1 1 2 N/a 3 Dust dan chaff green coffee 5 2 5 2 3.5 II
4 Thermal cleaning Luka bakar 1 3 2 2 3
  1. Terjepit starvalve
  2. Bara di hotcyclone
3 4 5 1 3.5 II
5 Roasting
  1. Kebakaran
  2. Ledakan
1 4 5 5 5
  1. Cut off power
  2. Quenching failure
  3. Over load
5 4 2 1 3 I
LR : Legal Requirement                                  F   : Frequency
PI  : People injury                                            PS: Protection System
HI  : Health Impact                                          CM: Checking and maintenance
EL : Economical Loss                                     PC: People Competence
RISK VALUE :
I          : Emergency, urgent, & important ,critical (first priority)
II          : Need little improvement (second priority)
III         : important , critical,and need cont. monitoring and controlling
IV         : Fair 
Sosialisasi HIRAC (Hazard Identification and Risk Assesment Control)
Maksud :
Melakukan analisa Keselamatan Kerja pada AKTIVITAS HARIAN dan KHUSUS
Tujuan :
Mengurangi tingkat risiko kecelakaan pada aktifitas kerja.

Tahapan HIRAC :
·      Pemilahan kegiatan yang akan dilakukan menjadi sub-kegiatan yang lebih kecil dan spesifik
·      Identifikasi potensi bahaya untuk setiap sub-kegiatan
·      Determinasi risiko yang mungkin terjadi (efek bahaya dan tingkat kemungkinannya)
·      Determinasi cara pencegahan dan penanggulangan terhadap risiko bahaya
·      Kesimpulan potensi bahaya dan resiko yang dihadapi untuk setiap kegiatan
·      Kesimpulan untuk keseluruhan pekerjaan

Analisa Keselamatan Kerja dengan HIRAC pada Kegiatan Kerja
Ø Departemen Produksi
Ø Departemen Engineering (workshop)
Ø Departemen Logistik (warehouse)

Jenis kegiatan kerja di
Ø Departemen Produksi
·      Pengoperasian …….
·      Pengoperasian …………
·      Pengoperasian …………….
·      Pengolahan ………………………..

Ø Departemen Engineering (workshop)
·      Pemotongan
·      Pengelasan besi dan lain-lain
·      Elektrikal

Ø Departemen Logistik (warehouse)
Teori Acuan:
Melakukan analisis bahaya dan kontrol penilaian risiko ini berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja no 5 Tahun 1996 (Permenaker/05/Men/1996) yang dijelaskan pada lampiran I tentang pedoman penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja pada poin 3.3 tentang identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian risiko. Setiap organisasi dapat menerapkan metode pengendalian risiko apapun sejauh metode tersebut mampu mengidentifikasi, mengevaluasi dan memilih prioritas risiko serta mengendalikan risiko tersebut (Suardi, 2005).

Matriks Penilaian Risiko metode Kualitatif :
Risiko = Kemungkinan x Konsekuensi (Keparahan)

Tabel Matriks Penilaian Risiko dengan Metode Kualitatif
KEPARAHAN
KEMUNGKINAN TERJADI
Sulit Terjadi
Jarang
Sering
Serius
M
H
H
Sedang
L
M
H
Ringan
L
L
M
*H = High, M = Medium, L = Low

Example:
Jika keparahannya pada tingkat serius dan  kemungkinan terjadinya sulit terjadi maka dikategorikan M  Risikonya
Jika keparahannya pada tingkat sedang dan  kemungkinan terjadinya jarang maka dikategorikan M  Risikonya
Jika keparahannya pada tingkat ringan dan  kemungkinan terjadinya sering maka dikategorikan M  Risikonya

Metode HIRAC

Sosialisasi HIRAC (Hazard Identification and Risk Assesment Control)
Maksud :
Melakukan analisa Keselamatan Kerja pada AKTIVITAS HARIAN dan KHUSUS
Tujuan :
Mengurangi tingkat risiko kecelakaan pada aktifitas kerja.

Tahapan HIRAC :
·      Pemilahan kegiatan yang akan dilakukan menjadi sub-kegiatan yang lebih kecil dan spesifik
·      Identifikasi potensi bahaya untuk setiap sub-kegiatan
·      Determinasi risiko yang mungkin terjadi (efek bahaya dan tingkat kemungkinannya)
·      Determinasi cara pencegahan dan penanggulangan terhadap risiko bahaya
·      Kesimpulan potensi bahaya dan resiko yang dihadapi untuk setiap kegiatan
·      Kesimpulan untuk keseluruhan pekerjaan

Analisa Keselamatan Kerja dengan HIRAC pada Kegiatan Kerja
Ø Departemen Produksi
Ø Departemen Engineering (workshop)
Ø Departemen Logistik (warehouse)

Jenis kegiatan kerja di
Ø Departemen Produksi
·      Pengoperasian …….
·      Pengoperasian …………
·      Pengoperasian …………….
·      Pengolahan ………………………..

Ø Departemen Engineering (workshop)
·      Pemotongan
·      Pengelasan besi dan lain-lain
·      Elektrikal

Ø Departemen Logistik (warehouse)
Teori Acuan:
Melakukan analisis bahaya dan kontrol penilaian risiko ini berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja no 5 Tahun 1996 (Permenaker/05/Men/1996) yang dijelaskan pada lampiran I tentang pedoman penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja pada poin 3.3 tentang identifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian risiko. Setiap organisasi dapat menerapkan metode pengendalian risiko apapun sejauh metode tersebut mampu mengidentifikasi, mengevaluasi dan memilih prioritas risiko serta mengendalikan risiko tersebut (Suardi, 2005).

Matriks Penilaian Risiko metode Kualitatif :
Risiko = Kemungkinan x Konsekuensi (Keparahan)

Tabel Matriks Penilaian Risiko dengan Metode Kualitatif
KEPARAHAN
KEMUNGKINAN TERJADI
Sulit Terjadi
Jarang
Sering
Serius
M
H
H
Sedang
L
M
H
Ringan
L
L
M
*H = High, M = Medium, L = Low

Example:
Jika keparahannya pada tingkat serius dan  kemungkinan terjadinya sulit terjadi maka dikategorikan M  Risikonya
Jika keparahannya pada tingkat sedang dan  kemungkinan terjadinya jarang maka dikategorikan M  Risikonya
Jika keparahannya pada tingkat ringan dan  kemungkinan terjadinya sering maka dikategorikan M  Risikonya

Amonia Removal

Di beberapa industri di dapatkan bahwa kandungan Ammonia yang tinggi, sehingga di perlukan treatment khusus di dalam unit IPAL yang ada. Proses Ammonia Removal ini umum di sebut dengan proses Nitrifikasi dan Denitrifikasi.
Nitrifikasi adalah proses peruraian Ammonia menjadi Nitrat dan kemudian menjadi Nitrit dengan bantuan bakteri nitrosomonas. Sedangkan Denitrifikasi adalah kelanjutan dari proses nitrifikasi yaitu proses peruraian dari Nitrat menjadi Nitrogen dengan bantuan bakteri nitrobacter.
Design IPAL yang sudah umum dan teruji untuk proses ini adalah Banderpho Process. Beberapa parameter yang harus di kontrol untuk mendapatkan proses ini berjalan bagus adalah:
1.    Retention time yang panjang, sistem aerobik yang di pergunakan haruslah tipe Extended Aeration atau Oxydation Ditch yang mempunyai RT di atas 24 jam dan low rate system. Plug flow aerobik sulit di jadikan untuk proses Nitrifikasi ini karena retensi yang pendek.
2.    Semakin rendah temperatur yang ada, maka semakin lama retention time yang di butuhkan.
3.    Di butuhkan Karbonat / nilai alkaliniti sebanyak 7.1 kali lebih besar dari pada Ammonia inlet yang diolah. Karbonat yang di pergunakan biasanya Na2CO3 atau CaCO3.
4. pH di atur minimal 7.5 hingga 9.0, beberapa referensi bahkan hingga pH 10.0
5. Di tambahkan Karbon untuk proses denitrifikasi, biasanya di pergunakan MeOH (methanol) sebesar kandungan nitrat yang terbentuk.